Pak

– buat Sigit, buat Bambang, buat Andik, buat Nanta

1. Kemarin

O, aroma punggung tanganmu itu
di pamitanku, di terminal waktu itu
pertama kali aku yakin
betapa mencium tanganmu
akan kurindukan
pertama kali aku yakin
bintang gemintang firdaus
meluncur sendiri, ke tanganmu
tiap kali kau tadahkan
Tembus. Aroma kretek di punggung tanganmu
yang kucium waktu itu,
di pamitanku, di terminal waktu itu
selalu dekat, sedekat bisikmu waktu itu
“hijrah kuwi nyaru, Le”
di pamitanku, di terminal waktu itu

2. Kini

perjalanan tak sempat mencari tahu
kapan usainya. Terpasung rindu
putramu di semangkuk bubur,
larung di sebotol cuka, dan sebuah mangkuk lagi
berisi garam dapur

3. Besok

kusimpan sebungkus kretek
dari gaji pertamaku
buat jaga-jaga,
satu waktu aku pulang
kan kuhadiahkan kepadamu
bukan oleh-oleh,
untuk kauhisap saja
menemani senja
                   menemani dzikirmu
                                      menemani tenang
                                                         menemani pikirmu
“anak-anakku baik-baik saja”
                                                      hisapan kedua, ketiga
                                                      dan seterusnya
“anak-anakku sangat baik-baik saja, rokoknya saja penak begini”
aku yakin
kau makin yakin
tiada satu huruf pun dalam doa malammu
adalah sia-sia

Doa Dua Mempelai

Embun di selembar daun
tetes air mata paling pagi
waktu gerimis enggan turun
lumbung doa di kening istri

burung gereja di kubah surau
terpeleset kakinya demi janji
buatkan rumah bentuk labu
hari depan direstu suami

di langit
elang bermata tajam
dan kecemasan-kecemasan lainnya
mengintai.

Dua mempelai
di persimpangan yang dipersiapkan
menuju katedral terdekat
sedang menyembunyikan bunyi-bunyi
di hari hari terakhir
masa lajang mereka
sambil merapal doa-doa
bahagia.