Tak Ada Warung yang Tak Retak

Ibuku punya depot kecil
kumuh namun banyak yang beli
Nasi campur, nasi pecel, nasi lodeh
aku kuliah dari rupiah manusia-manusia lapar yang lelah
bayar nasi ibu

Lalu, ibu mati
istriku diwarisi warung nasi
Tak kalah sedap sambal istriku
Aku lahap, anak-anakku lahap
kuli, tukang, buruh, pembantu juga makan dengan lahap

Lalu, warung bangkrut
kami tak cakap memutar otak untuk berdagang
nasi jualan selalu habis sebelum jam istirahat siang
Anakku berjumlah tiga belas
dalam masa pertumbuhan;
seperti monster, tak berhenti memegang sendok

Anak-anak selalu makan dengan lahap
aku, istriku
tak bisa tidur lelap

Jogja, 2009

Mana Lontong Kupangku?

“Diam kau, suami tak tahu diuntung!” istriku membentak dengan liarnya

bibir tipis, mata sayu
O, istriku
anak-anakku lahir dari rahimnya yang mulia

tangan berurat, kuku patah
O, istriku
celana dalamku yang bau tiap hari dicucinya

bau bawang, jari teriris
O, istriku
perutku jutaan kali diisi oleh masakannya

“Cari kerja sana! Uang BLT habis tak bersisa” sambungnya setelah kalimat pertama

dua detik sebelumnya
aku bertanya “mana lontong kupangku, sayang?”

Surabaya, 2011