Sebatang kara kuberharap, berteman pancing yang kucelupkan dalam kolam dangkal. Ikan-ikannya berwarna hitam, berenang tenang dalam kolam yang jernih airnya
Ragamu tak disini, namun hatimu memelukku dari belakang.
Dalam sepi, hati kecilku lirih berbisik “Jangan hiraukan kesedihan, sayang. Kau terlalu cantik untuk meratapi gelap malam.”
Kemudian, berpindahlah segala ucap tentang rasa, dari mulut menuju hati
Suka duka memenuhi ruang-ruang dalam bagian tubuh yang kasat mata
Bagaimana mungkin kuragukan cinta yang tubuhku sendiri tak kuasa menolaknya?
Kemudian, terciptalah segala rasa yang meronta-ronta
Bayang senyum dan tatapanmu tiba-tiba berjubel dalam otakku
Bagaimana mungkin kuragukan cinta yang tubuhku sendiri tak sudi melepasnya?
“Maaf, aku belum sanggup memahat gunung batu jadi istana.”
Tak berbaju, tak juga bercelana, tak sehelai benangpun menutupiku
Ini aku, sayang.
Telanjang mendampingimu
Kau bebas mengulitiku, atau memotong bagian tubuhku semaumu
Tapi jangan hatiku
Hatiku terlalu keras mencintaimu, kau tak kan sanggup mengirisnya.
“Maaf, aku belum sanggup menyulam rintik hujan jadi istana”
Aku masiih disini, memegang pancing
Semoga ikan terbaik memakan umpan
Akan kubawakan ikan itu untukmu, sayang.
Gorenglah! Untuk makan malam kau dan anak-anak kita.
Aku tak perlu makan, senyummu dan tingkah anak-anak kita sudah cukup untukku bertahan hidup.
“Maaf, aku mencintaimu.”