Tenang

Semalam menendang batas
pagar-pagar tajam angkuh
Di seberang ada senyum tersayang
Menulis titah langkahi Tuhan
Tunggu, sayang, aku bawa senapan

Nyamuk mondar-mandir
Ini malam, hilang aku hilang engkau
Kita jadi kita
Tak soal malam sengsara
Besok siang kita tertawa
Tunggu, sayang, aku masak rendang

Peluk anak kita!
Tutup kuping mereka!
Tutup mata mereka!
Anak kita tak boleh sedih
Jangan tahu bapak sedih
Jangan tahu ibu sedih

Bacakan mereka puisi Neruda
Bisikkan mereka
Hidup itu cinta
Apa-apa setelahnya
-senjata, darah, keringat, merdeka-
adalah buah cinta

Hati dan Pancing (Maaf, Aku Mencintaimu)

Sebatang kara kuberharap, berteman pancing yang kucelupkan dalam kolam dangkal. Ikan-ikannya berwarna hitam, berenang tenang dalam kolam yang jernih airnya
Ragamu tak disini, namun hatimu memelukku dari belakang.
Dalam sepi, hati kecilku lirih berbisik “Jangan hiraukan kesedihan, sayang. Kau terlalu cantik untuk meratapi gelap malam.”

Kemudian, berpindahlah segala ucap tentang rasa, dari mulut menuju hati
Suka duka memenuhi ruang-ruang dalam bagian tubuh yang kasat mata
Bagaimana mungkin kuragukan cinta yang tubuhku sendiri tak kuasa menolaknya?

Kemudian, terciptalah segala rasa yang meronta-ronta
Bayang senyum dan tatapanmu tiba-tiba berjubel dalam otakku
Bagaimana mungkin kuragukan cinta yang tubuhku sendiri tak sudi melepasnya?

“Maaf, aku belum sanggup memahat gunung batu jadi istana.”

Tak berbaju, tak juga bercelana, tak sehelai benangpun menutupiku
Ini aku, sayang.
Telanjang mendampingimu
Kau bebas mengulitiku, atau memotong bagian tubuhku semaumu
Tapi jangan hatiku
Hatiku terlalu keras mencintaimu, kau tak kan sanggup mengirisnya.

“Maaf, aku belum sanggup menyulam rintik hujan jadi istana”

Aku masiih disini, memegang pancing
Semoga ikan terbaik memakan umpan
Akan kubawakan ikan itu untukmu, sayang.
Gorenglah! Untuk makan malam kau dan anak-anak kita.
Aku tak perlu makan, senyummu dan tingkah anak-anak kita sudah cukup untukku bertahan hidup.

“Maaf, aku mencintaimu.”